Trem Batavia: Transportasi Masal Kota Yang Hilang

| komentar (5)

Mendengar kata “Trem”, yang ada dipikiran kita adalah alat trasportasi masal dalam kota yang bentuknya menyerupai gerbong kereta api, keberadaan moda transportasi kota ini memang sudah hilang dari kota Jakarta, namun konon di Jakarta (dulu Batavia) trem ada sekitar tahun 1800-an, adalah perusahaan Belanda, BTM (Bataviasche Tramweg Maatschappij) pertama kali membuka jalur trem pada tahun 1869, yang saat awalnya hanya mempunyai jalur Route Out Batavia yaitu antara Prinsenstraat (jalan Cengkeh) sampai dengan batas ujung Batavia (sekitar Harmoni), dan trem yang pertama di jalur ini ditarik dengan kuda. Kemudian setelah Batavia mempunyai wilayah baru yaitu Tanah Abang dan Meseter Cornelis (sekarang Jatinegara) dibukalah jalur kedua dengan rute: Harmoni-Tanah Abang, Harmoni- Meseter Cornelis, melewati Noordwijk (jalan Juanda), Senen, Kramat, Salemba berakhir di Mester/Jatinegara di tahun 1882, trem yang awalnya ditarik kuda diganti menjadi trem bertenaga uap dan beroperasi di bawah perusahaan barunya, NITM (Nederlandsch-Indische Tramweg Maatschappij).

Setelah puluhan tahun jalur trem di wilayah Batavia beropersi dan seiring dengan perkembangan teknologi, beberapa trem yang masih menggunakan tenaga uap bertahap digantikan dengan trem listrik, sampai dengan akhirnya dihapuskannya trem yang bertenaga uap pada tahun 1934, dan seluruhnya trem di Batavia beroperasi dengan trem listrik. Perusahaan yang mengelolanya berganti nama dengan BETM (Batavia Electische Tram-Maatschappij). Seperti juga kota besar di negara-negara Eropa tidak terkecuali Belanda, kota Batavia yang saat itu di bawah pemerintahan Kolonial Belanda, trem yang merupakan moda transportasi masal sangat menjadi primadona walaupun di masa awal keberadaan trem di Batavia tidak banyak masyarakat pribumi yang menikmatinya. Tahun 1960 trem listrik di Jakarta harus berakhir, adalah Bapak Sudiro, Gubernur DKI Jakarta waktu itu atas perintah Presiden Soekano, menghentikan seluruh pengoperasian trem di Jakarta. Kala itu, Presiden menganggap trem sebagai biang keladi kemacetan, adalah suatu anomali bila sekarang pun Jakarta dengan bergantinya Gubernur dan beberapa peraturan daerah tidak cukup mampu mengatasi kemacetan yang semakin parah.

Kota Madya Jakarta Utara

| komentar

Wilayah Jakarta Utara yang merupakan bagian dari pemerintah daerah khusus ibukota Jakarta, ternyata pada abad ke-5 justru merupakan pusat pertumbuhan pemerintah kota Jakarta yang tepatnya terletak dimuara sungai Ciliwung di daerah Angke. Saat itu muara Ciliwung merupakan Bandar Pelabuhan Kerajaan Tarumanegara di bawah pimpinan Raja Purnawarman. Betapa penting wilayah jakarta Utara pada saat itu dapat dilihat dari perebutan silih berganti antara berbagai pihak, yang peninggalannya sampai kini dapat ditemukan dibeberapa tempat di Jakarta Utara, seperti Kelurahan Tugu, Pasar Ikan dan lain sebagainya. Untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, pada bulan Agustus 1966 di DKI Jakarta dibentuk beberapa "Kota Administrasi". Berbeda dengan kota Otonom yang dilengkapi dengan DPRD tk II, maka kota-kota Adminstrasi di DKI Jakartatidak memiliki DPRD Tk II yang mendampingi Walikota. Berdasarkan Lembaran Daerah No.4/1966 ditetapkan  Lima wilayah Administratif di DKI Jakarta, yaitu; Jakarta Pusat, Jakarta Timur, Jakarta Selatan dan Jakarta Utara, yang dilengkapi dengan 22 Kecamatan dan 220 Kelurahan. Pembentukan Kecamatan dan Kelurahan ini didasarkan pada asas Teritorial dengan mengcu kepada jumlah penduduk yaitu 200.000 Jiwa untuk Kecamatan, 30.000 Jiwa Kelurahan perkotaan dan 10.000 Jiwa Kelurahan Pinggiran.

Setelah Pelantikan para Walikota dan Wakil-wakilnya berdasarkan SK Gubernur DKI Jakarta No. 1b/3/1/2/1966 tanggal 22 Agustus 1966, maka Gubernur DKI Jakarta dalam Lembaran Daerah No. 5/1966 menetapkan 5 kota Administrasi lengkap dengan wilayah dan batasnya masing-masing terhitung mulai 1 September 1966. Prinsip Dekonsetrasi yang digariskan Gubernur dalam pembentukan kota-kota Administrasi ini memberikan batas-batas wewenang dan tanggung jawab kepada Walikota dalam 3 Penegasan, yaitu :
  1. Teknis Administratif yaitu Setiap Pelaksanaan tugas yang menyakut segi teknis.
  2. Teknis Operasional yaitu penentuan kebijakan tugas (Policy Executing, bukan Executing Making).
  3. Koordinatif Teritorial yaitu pemimpin pengkoordinasian dari segala gerak langkah potensi yang ada dalam wilayah setempat.
Dengan tiga penegasan ini maka kedudukan pemerintah ditingkat kota adalah semata-mata merupakan verlengstruk dan alat pelaksana dari Gubernur Kepala Daerah yang diwujudkan dalam proses penyempurnaan administrasi untuk meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kelancaran roda pemerintahan. Sesuai dengan kedudukannya, manjemen pemerintahan di tingkat kota didasarkan pada delegasi wewenang yang dilimpahkan oleh Gubernur KDH dalam melaksanakan tugas-tugas eksekutif Pemerintah Daerah. Wewenang dan tanggung jawab Walikota dengan demikian bukan figur politik, melainkan figur teknis. UU No. 11/1990 menetapkan wilayah DKI jakarta terbagi menjadi Lima Wilayah Kotamadya yang tetap tampa dilengkapi dengan DPRD Tingkat II. Dengan demikian kedudukan Walikotamadya, Camat dan Lurah yang ada di DKI Jakarta semata-mata merupakan Pembantu dan alat Pelaksana Gubernur KDH. Dengan UU ini istilah Kota Administratif yang ada di DKI Jakarta berubah menjadi Kotamadya, dan salah satu kota madya itu adalah Kotamadya Jakarta Utara.

Peta Interaktif Batas Administratif Kecamatan:
  1. Penjaringan.
  2. Tanjung Priok.
  3. Koja.
  4. Cilincing.
  5. Pademangan.
  6. Kelapa Gading.

Persija: Tim Sepakbola Asal Jakarta

| komentar (4)

Persija (singkatan dari Perstuan Sepakbola Indonesia Jakarta) adalah klub sepakbola Indonesia yang berbasis di Jakarta. Persija didirikan dimasa Hindia Belanda pada tanggal 28 Nopember 1928, cikal bakal Persija awalnya bernama Voebalbond Indonesische Jacatra (VIJ). Pasca-Republik Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan, VIJ berganti nama menjadi Persija (Persatuan Sepakbola Indonesia Jakarta). Pada saat itu, NIVU (Nederlandsch Indisch Voetbal Unie) sebagai organisasi tandingan PSSI masih ada. Di sisi lain, VBO (Voetbalbond Batavia en Omstreken) sebagai bond (perserikatan) tandingan Persija juga masih ada. Dalam sejarah Persija (yang waktu itu masih bernama Voetbalbond Indonesische Jacatra / VIJ), merupakan salah satu klub yang ikut mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI), dengan keikutsertaan wakil VIJ, Mr. Soekardi saat itu dalam pembentukan PSSI di Societeit Hadiprojo Yogjakarta tanggal 19 April 1930.

Sering dengan berdaulatnya negara Indonesia, NIVU mau tidak mau harus bubar. Mungkin juga karena secara sosial politik sudah tidak kondusif (mendukung). Suasana tersebut akhirnya merembet ke anggotanya, antara lain VBO. Pada pertengahan tahun 1951, VBO mengadakan pertemuan untuk membubarkan diri dan mengajurkan dirinya untuk bergabung dengan Persija. Untuk menandakan lahirnya Persija “Baru” diadakanlan turnamen segitiga persahabatan, gabungan pemain bangsa Indonesia yang tergabung dalam Persija "Baru", Tim Sepakbola Belanda dan Tim Sepabola Tionghoa. Semua pertandingan berlangsung di lapangan BVC Merdeka Selatan, Jakarta.

Persija sendiri dijuluki Macan Kemayoran dengan pendukung atau suporter fanatiknya "The Jakmania" atau "The Jack".Tthe Jakmania berdiri sejak Ligina IV, tepatnya tanggal 19 Desember 1997. Markas dan sekretariat The Jakmania berada di Stadion Lebak Bulus. Kegiatan rutinitas para pendukung atau suporter Persija ini menonton bareng di Stadion untuk mendukung tim Persija sendiri adalah kegiatan berkumpul bersama, membahas perkembangan The Jakmania serta laporan-laporan dari setiap bidang kepengurusan, tidak lupa juga melakukan pendaftaran anggota baru, baik individu maupun kelompok korwil dan komunitas kecil. Prestasi yang tertinggi diraih Persija dalam era kompetisi liga sepakbola baru Indonesia (Liga Indonesia adalah menjadi Juara Liga Indonesia tahun 2001. Menjadi anomali di persepakbolaan tanah air apabila Persija sebagai Tim Sepakbola besar yang berasal ibukota Jakarta belum bisa mempersembahkan yang terbaiknya, walaupun sampai sekarang belum pernah Persija turun di level bawah kompetisi Sepakbola Nasional, namun warga Jakarta berharap suatu saat persija dapat kembali menjadi juara di kompetisi Sepakboba Nasional dan Internasional.

Roti Buaya: Wajib Ada Di Adat Perkawinan Betawi (Jakarta)

| komentar

Dari beberapa kegiatan yang diidentikan dengan adat istiadat di Indonesia hampir sebagian sama, tapi mungkin dengan tata cara yang berbeda, tidak terkecuali adat istiadat dari masyarakat Betawi (Jakarta). Satu diantaranya adalah acara atau tradisi seserahan, prosesi ini merupakan bagiaan dari acara pernikahan, yang juga ada di bagian acara pernikahan pada adat istiadat daerah lain. Tapi Ada yang unik pada acara atau tradisi seserahan adat istiadat masyarakat Betawi (Jakarta) ini, yaitu adanya satu atau beberapa Roti Buaya, Dalam urut-urutan seserahan yang dibawa rombongan pihak mempelai pengantin laki-laki. Namun yang menjadi pertanyaan, seberapa pentingnya roti buaya dalam tatanan adat pernikahan masyarakat Betawi (Jakarta) umumnya, yang telah termodernisasi sekarang ini…

Yang pertama dari aspek Religinya, dimana bagi seorang calon mempelai laki-laki menyiapkan Mahar untuk syarat pernikahan, yang biasanya berupa uang tunai atau logam mulia dan juga bisa berupa alat sholat. Kehadiran roti buaya dalam hal ini bisa di pakai sebagai simbull-simbul tersebut atau dengan kata lain dilihat dari tingkat kemapanan sesorang. Kedua dari aspek kultur/budaya karena suatu adat istiadat di suatu tempat adalah akar dari budaya itu sendiri. Begitu pula barang seserahan yang dibawa merupakan simbol-simbol yang akan menyetai perjalanan kehidupan berumah tangga kelak, dan keberadaan roti buaya yang merupakan simbol dari ungkapan kesetiaan pasangan yang menikah. Hal ini menjelasakan bahwa buaya sesungguhnya adalah hewan yang panjang umur dan setia pada pasangannya.

Roti buaya dalam prosesi seserahan rombongan pihak mempelai pengantin laki-laki dalam adat istiadat masyarat Betawi menjadi hal yang sangat penting dan hukumnya wajib, istilahnya kalau seserahan kue atau bunga boleh tidak ada, tapi tidak untuk roti buaya. Kemudian biasanya roti buaya ini dibuat sepasang dan posisinya selalu dijaga agar tidak rusak sampai ke tempat mempelai wanita. Sebuah anomali kultur yang ada di tengah-tengah masyarakat Betawi (Jakarta) yang terus dan harus dilestarikan.meskipun diterpa modernisasi secara global.

Jan Pieterszoon Coen: Pendiri Batavia Bukan Pendiri Jakarta

| komentar

Jakarta (dulu Batavia) tidak bisa lepas dari nama besar Jan Pieterszoon Coen, yang merupakan tokoh pemimpin VOC (Vereenigde Oostindische Compagnnie) yaitu perusahaan dagang besar untuk Hindia Belanda yang pernah hidup pada tahun 1587-1629. Coen lahir di Hoom, kota pelabunan di Belanda bagian utara yang dijuluki juga kota VOC. Coen bukan seorang yang terkenal pada perjalanan pertamanya tahun 1607 ke Hindia Timur, ia ditugaskan sebagai negosiator dagang, sampai keadaan dimana atasanya Pieter Willemzoon Verhoeff konon dibunuh orang Banda saat negosiasi pembelian rempah-rempah, hal inilah mulanya yang memicu Jan Pieterszoon Coen menjadi seorang yang keji dalam setiap negosiasi perdagangannya, terutama menghadapi orang Banda selanjutnya. Coen sendiri pada jamannya dijuluki “Ijzeren Jan” (Si Tangan Besi) karena ia tidak ragu mengorbankan nyawa. Kekejamannya yang paling besar adalah membinasakan penduduk Banda karena mereka melawan dan menolak praktek monopoli dagang pala kepada VOC, mereka tidak mau hanya menjual pala kepada VOC dengan harga murah.

Pada tahun 1619, Jan Pieterszoon Coen sudah menjabat sebagai Gubernur Jendral di usia 31 tahun, yang berlokasi di Banten, di sana dia tidak tahan terhadap orang Banten dan orang Inggris. Dibawah komanadonya, VOC merebut dan menghancurkan wilayah Jayakarta dibawah pimpinan Fathillah dan baru satu tahun kemudian diatas puing-puing kota Jayakarta VOC di bawah Jaan Pieterszoon Coen ini membangun kota baru bernama Batavia untuk menghormati Batavienren (leluhur bangsa Belanda) dan benteng pertahanan (Kaastil Batavia). Sebagai pendiri Batavia, Coen mencoba membuat Batavia seperti Hoom, kota kelahirannya. Kemudian pada tahun 1623, ia pulang ke Belanda dan menyerahkan kekuasaannya sebagai Gubernur Jendral kepada Pieter de Carpentier

Coen kembali ke Batavia pada tahun 1627, setelah pimpinan VOC di Belanda menyuruhnya kembali dan menjadi Gubernur Jendral untuk masa jabatan ke dua. Di masa ini Coen mengalami perang melawan kesultanan Banten dan Mataram tapi keduannya gagal menjatuhkan Batavia, sampai akhirnnya Jan Pieterszoon Coen tewas secara mendadak akibat penyakit Kolera tahun 1629, walaupun dalam hidup yang relative singkat itu (baru 42 tahun umurnya ketika ia tewas), namun dia mampu menjadi tokoh kontroversial. Bahkan menurut cerita yang beredar pada masa itu, beberapa hari sebelum menghembuskan napas terakhirnya, ia masih menyiksa anak asuhnya, Sarah, yang ketahuan main serong dengan seorang pelaut dan akhirnya sang pelaut itupun dihukum mati.

Pemerintah kolonial Belanda di Batavia lewat Gubernur Jendralnya pada tahun 1869 mendirikan sebuah monument berupa patung Jan Pieterszoon Coen, bertepatan dengan 250 tahun usia kota Batavia waktu itu yang terhitung dari masuknya VOC pimpinan Jan Pieterszoon Coen tahun 1619. Patung yang dulu berdiri angkuh di depan Gedung Putih (kini Gedung Kementrian Keuangan di Lapangan Banteng) itupun patung si pendiri Batavia sudah dihancurkan pada masa pendudukan Jepang di Jakarta tahun 1943. Seperti juga di Batavia tempat di mana Coen tewas, di Hoom kota di mana Coen dilahirkan juga berdiri megah sebuah monumen berupa patung di si pendiri Batavia itu, namun keberadaannya juga sangat mengganggu oleh beberapa kalangan mengingat patung itu melambangkan penghormatan terhadap seorang pembantai besar dalam sejarah Belanda dan sangat bertentangan karena di Negara Belanda juga terdapat Mahkamah Internasional yang seharusnya dalam hal ini Belanda menjadi Negara teladan.

Masyarakat Betawi (Jakarta): Bukan Suku Betawi (Jakarta)

| komentar (5)

Sebenarnya ada pertanyaan dan sekaligus pernyataan bahwa apakah penduduk asli Jakarta adalah “Suku Betawi”?. Sayang, pertanyaan yang sekaligus peryataan ini tidak serta merta terjawab, akan tetapi ada beberapa cerita dan perdebatan kecil dikalangan sekelompok penduduk asli Betawi (Jakarta) mengatakan bahwa lebih pantas menyebutnya sebagai “Masyarakat Betawi”. Sebutan suku atau kaum Betawi, muncul ketika Mohammad Husni Thamrin mendirikan perkumpulan ”Kaum Betawi” pada tahun 1918, meski pada waktu itu nama Betawi atau Batavia masih merupakan kota atau wilayah. Sebutan “Suku” baru ada pada saat sensus penduduk pada tahun 1930. Seperti pada penulisan sebelumnya bahwa kata Betawi sendiri dikarenakan kesalahan penyebutan dari kata “Batavia”.

Selama berabad-abad penduduk yang mendiami tanah Jakarta yang awalnya adalah sebuah kota pelabuhan (Sunda Kelapa) ini adalah masyarakat Heterogen, terdiri dari pembauran beberapa etnis, ada etnis Sunda (karena Sunda Kelapa adalah bagian dari kerajaan Pajajaran), Melayu, Tionghoa, Arab, Portugis, Ingris, Belanda dan etnis lainnya (terbawa karena sistem perbudakan). Hal ini juga masih bisa kita jumpai sekarang pada beberapa lokasi di dalam “batas wilayah Batavia Lama” (Weltevreden).
Seperti yang tertulis dalam buku “Jaarboek van Batavia” (Vries, 1927), disebutkan bahwa semula penduduk pribumi terdiri dari suku Sunda tetapi lama kelamaan bercampur dengan suku-suku lain di Nusantara juga Eropa, Cina dan Arab. Keturunan mereka disebut Inlanders, yang bekerja pada orang Eropa dan Cina sebagai pembantu rumah tangga, supir, kusir, pembantu kantor atau opas. Banyak yang merasa bangga kalau bekerja di pemerintahaan meski gajinya kecil. Lainnya bekerja sebagai binatu, penjahit, pembuat sepatu dan sandal, tukang kayu, kusir kereta sewaan, penjual buah dan kue atau berkeliling kota dengan “warung dorongnya”.

Sekarang karena perkembangan pembangunan, pergeseran budaya dan bertambahnya kaum urban di kota Jakarta, mengakibatkan sebagian kelompok penduduk yang disebut “Masyarakat Betawi” itu sudah banyak yang terpinggirkan, mereka tinggal berkelompok atau komunitas di daerah-daerah tertentu, seperti masyarakat Betawi di daerah Kemang – Pejaten, Kebayoran, Slipi, Kemayoran, Cawang dan tempat lain yang masih terlihat nuansa kehidupan masyarakat Betawi. Dari beberapa masyarakat Betawi ini membentuk kelompok (organisasi sosial kemasyarakatan) yang biasa disebut paguyuban seperti “Forum Betawi Rempug (FBR) ada juga Forum Komunikasi Anak Betawi (FORKABI)”, sungguh suatu anomali sosial di Jakarta, Namun begitu masih terdapat sekelompok masyarakat Betawi yang masih tinggal di tengah-tengah kota Jakarta yang modern seperti masyarakat Betawi Petojo dan Tanabang, mereka masih menjunjung nilai-nilai adat istiadat sebagai masyarakat Betawi.

Ondel-Ondel: Antara Kesenian Dan Mistis

| komentar

Ondel-ondel adalah bentuk pertujukan rakyat Betawi (Jakarta) yang sering ditampilkan dalam pesta-pesta rakyat. Simbol dari ondel-ondel sendiri adalah memerankan leluhur atau nenek moyang yang senantiasa menjaga anak cucunya atau penduduk suatu desa. Ondel-ondel sendiri berbentuk boneka besar yang tingginya 2,5 meter dengan garis tengah kurang lebih 80 cm, dibuat dari ayaman banbu yang disiapkan begitu rupa sehingga mudah dipikul dari dalamnya. Bagian wajah berupa topeng atau kedok, dengan rambut kepaka dibuat dari ijuk. Wajah ondel-ondel laki-laki biasanya dicat warna merah, sedangkan yang perempuan warna putih. Hingga sekarang tidak ada yang tahu mengapa arak-arakan boneka beukuran raksaksa itu dinamai Ondel-ondel, tetapi jika ada yang bertanya mengenai kesenian tradisional Betawi (Jakarta) jawaban pertama yang akan terlontar adalah Ondel-ondel. Kiranya uangkapan tersebut tidak berlebihan melihat betapa melekatnya kesenian Odel-ondel dengan masyarakat Jakarta, khususnya Betawi. Pada setiap hajatan, arak-arakan Ondel-ondel tak pernah ketinggalan memeriahkan pesta tersebut, baik pesta besar atau khitanan anak sekalipun.

Konon bentuk Ondel-ondel adalah personifikasi dari leluhur masyarakat Betawi yang senantiasa menjaga keturunannya dari gangguan roh halus. Tidak heran kalau bentuk Ondel-ondel jaman dulu berkesan menyeramkan. Berbeda dengan Ondel-ondel yang dapat dilihat saat ini, yang lebih berkesan seperti ibu-bapak. Meski terjadi pergeseran fungsi, unsur ritual tak sepenuhnya lepas dari tradisi Ondel-ondel itu sendiri. Pada proses pembuatan Ondel-ondel dilakukan secara tertib, ada waktu khusus untuk membuat Ondel-ondel, baik waktu membentuk membentuk wajahnya demikian pula ketika menganyam badannya dengan bambu. Sebelum memulai pembuatan Ondel-ondel, biasanya disediakan sesajen yang berisi bubur merah putih, rujak-rujakan tujuh rupa, bunga-bungaan tujuh macam, asap kemenyan dan lain sebagainya. demikian pula dengan Ondel-ondel yang sudah jadi, biasa pula disediakan sesajen dan dibakari kemenyan disertai mantera-mantera ditujukan kepada roh halus yang dianggap menunggui Ondel-ondel tersebut.

Sebelum dikeluarkan dari tempat penyimpanan, bila akan berangkat main, senantiasa diadakan ritual pembakaran kemenyanyang dilakukan oleh pimpinan rombongan, atau salah satu orang yang dituakan. Menurut istilah setempat upacara demikian tersebut Ngukup. Sebenarnyatidak ada musik yang khusus untuk mengiringi arak-arakan Ondel-ondel, Terkadang Tanjidor, Kendang Pencak, Bende atau Rebana Ketimpring.

Sumber: http://kebudayaanindonesia.net/id/culture/974/ondel-ondel
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Anomali Jakarta - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger